Banyak
orang yang mungkin tidak tahu tentang kedokteran nuklir, dan merasa
asing ketika mendengarnya. Kedokteran nuklir ini merupakan salah satu
cabang ilmu kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk
menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari penyakit
manula. Bidang kedokteran nuklir laksana sebuah segitiga dengan
radiofarmaka, instrument, dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya,
serta penderita ditengahnya. Kedokteran nuklir menggunakan sumber
radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan untuk
mempelajari perubahan fisiologi, anatomi, dan biokimia, sehingga dapat
digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian kedokteran.
Keunggulan
kedokteran nuklir terletak pada kemampuannya mendeteksi bahan bahan
yang ditandai dengan perunut radioaktif. Bahan – bahan tersebut yang
dikenal dengan istilah radiofarmaka, dimasukkan ke dalam tubuh melalui
inhalasi, intravena, mulut. Setelah berada di dalam tubuh, dapat diikuti
nasibnya di dalam organ atau jaringan menggunakan detektor pemancar
gamma yang ditempatkan
di
luar tubuh. Dapat pula dilakukan analisis kandungan radiofarmaka dalam
cuplikan darah, urine, feses, atau udara yang dihembuskan melalui
pernafasan, bahkan dalam jaringan. Melalui teknik pencitraan
Berbeda
dengan pencitraan dengan pesawat CT-scan, USG, maupun MRI yang sifatnya
morfologik karena lebih didasarkan pada perubahan atau perbedaan
karakter fisik anatomik yang menimbulkan perubahan atau perbedaan
transmisi radiasi atau gelombang ultrasonik ataupun sinyal
radiofrekwensi
yang melalui organ atau bagian tubuh yang diperiksa, maka pencitraan
kedokteran nuklir dengan kamera gamma atau kamera PET (Positron Emission
Tomography) bersifat fungsional karena
didasarkan
pada perubahan biokimiawifisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi
yang mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa.
SEJARAH PERKEMBANGAN KEDOKTERAN NUKLIR
Penggunaan
isotop radioaktif dalam biologi dan kedokteran sebenarnya telah dimulai
pada tahun 1901 oleh Henri DANLOS yang menggunakan radium untuk
pengobatan penyakit tuberculosis pada kulit, namun penerapan teknik
perunut dengan menggunakan radioisotop dalam biologi dan kedokteran
dipelopori oleh George de HEVESY pada tahun 1920an, waktu itu digunakan
radioisotop alamiah. Dalam
perkembangan selanjutnya digunakan radioisotop buatan.
Seorang ahli kimia berkebangsaan Hongaria, George Hevesy, pada tahun 1923 mengukur distribusi timbal (Pb) radioaktif dengan jalan memasukkan Pb-210 dan Pb-212 pada batang dan akar kacang dalam jumlah yang tidak menimbulkan efek toksik pada tanaman. Pada tahun 1924, dipelajari distribusi Pb dan Bismut (Bi) pada hewan percobaan. ini merupakan langkah pertama penggunaan perunut untuk penelitian biomedik, sehingga pada tahun 1943 George Hevesy mendapat hadiah Nobel di bidang Kimia. Radionuklida pertama yang digunakan secara luas dalam kedokteran nuklir adalah I-131, yang ditemukan oleh Glenn Seaborg pada tahun 1937. Pertama kali I-131 digunakan sebagai indikator fungsi kelenjar tiroid dengan jalan mendeteksi sinar
yang diemisikan, dengan pencacah Geiger yang ditempatkan di dekat
kelenjar tiroid. Diikuti dengan pemakaiannya untuk pengobatan
hipertiroid pada tahun 1940. Penemuan Seaborg berikutnya yaitu
radionuklida Tc-99m dan Co-60, yang merupakan tonggak sejarah di bidang
Kedokteran Nuklir. Berkat jasanya tersebut, Seaborg mendapat hadiah
Nobel untuk bidang Kimia pada tahun 1951. Pada periode berikutnya,
kedokteran nuklir berkembang pesat setelah ditemukan kamera gamma oleh
Hal Anger pada tahun 1958. Alat tersebut mampu mendeteksi distribusi
foton yang dipancarkan dari dalam tubuh, yang dapat menggambarkan fungsi
suatu organ. Metode ini disebut imaging nuklir, yang digunakan untuk diagnosis in vivo.
PERKEMBANGAN KEDOKTERAN NUKLIR DI INDONESIA
Aplikasi
teknik nuklir dalam bidang kedokteran di Indonesia telah dilakukan
sejak akhir 1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama
mulai beroperasi di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh
ahli dari luar negeri mulai merintis pendirian suatu unit kedokteran
nuklir di Pusat Reaktor Atom Bandung (sekarang bernama Pusat Penelitian
Teknik Nuklir). Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir
RSU Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul
kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta yaitu: RS Cipto Mangunkusumo,
RS Pusat Pertamina, RS Gatot Subroto, dan di Surabaya RS Soetomo.
Pada
tahun 1985 didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS
Sardjito, (Yogyakarta), RS Kariadi (Semarang), RS Jantung Harapan Kita
(Jakarta), dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini terdapat 15 rumah
sakit di Indonesia yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan
menggunakan kamera gamma, 3 diantaranya di luar Jawa, disamping masih
terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya
mengoperasikan alat penatah ginjal /renograf (RSU Mataram dan RS Mukti Mulya di Surabaya).
Pada
masa-masa awal, berbagai kendala menghadang perkembangan kedokteran
nuklir di Indonesia seperti misalnya langkanya tenaga ahli, masalah
pengadaan radiofarmaka/radioisotop, biaya
pemeriksaan
yang dianggap mahal, belum dikenal oleh masyarakat luas, dsb. Berapa
sebenarnya jumlah unit kedokteran nuklir yang dibutuhkan di suatu negara
adalah sangat bervariasi tergantung tingkat kemajuan teknologinya,
sosial ekonomi masyarakat di negara itu, prioritasnya di sektor
kesehatan, dsb.
Dalam
bidang pengembangan ilmu Kedokteran Nuklir, saat ini Fakultas
Kedokteran Univesitas Padjadjaran dipercaya oleh Konsorsium Ilmu-ilmu
Kesehatan sebagai penyelenggara Program Pendidikan Dokter Spesialis
Kedokteran Nuklir di Indonesia. Selain itu, institusi ini pun telah
mendapat pengakuan pada taraf internasional sebagai sekretariat
Penyelenggara 5th Asia-Oceania Congress of Nuclear Medicine and Biology
pada bulan Oktober 1992.
PEMANFAATAN KEDOKTERAN NUKLIR
Pemeriksaan
kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai
penyakit seperti penyakit jantung koroner, penyakit kelenjar gondok,
gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan
mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran
pencernaan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi
yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir
yang pada saat ini berkembang pesat.
Disamping
membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga berperanan dalam
terapi-terapi penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok,
hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian
obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi
(peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi
obat-obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan
dalam dosis yang sangat kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja
diberikan dalam dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap
jaringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun
jaringan kanker itu.
PEMANFAATAN TEKNIK NUKLIR DI LUAR KEDOKTERAN NUKLIR
Di luar kedokteran nuklir, teknik nuklir masih banyak memberikan sumbangan yang besar bagi kedokteran serta kesehatan, misalnya:
1. Teknik Pengaktifan Elektron
Teknik
nuklir ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh
terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang
sangat kecil (Co,Cr,F,Fe,Mn,Se,Si,V,Zn dsb) sehingga sulit ditentukan
dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya
yang tidak merusak dan kepekaannya sangat tinggi. Di sini contoh bahan
biologik yang akan diperiksa ditembaki dengan neutron.
2. Penentuan Kerapatan Tulang dengan Bone Densitometer
Pengukuran
kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang dengan radiasi
gamma atau sinar-x. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-x
yang diserap oleh tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan
konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh
komputer yang dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini
bermanfaat untuk membantu mendiagnosis kekeroposan tulang (osteoporosis)
yang sering menyerang wanita pada usia menopause sehingga menyebabkan
tulang muda patah.
3.Three Dimentional Conformal Radiotheraphy (3D-CRT)
Terapi
Radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat
pembangkit radiasi telah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker.
Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih
dalam dua dekade ini telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi
radioterapi. Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi
terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan
sangat presisi dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya
yang sangat selektif untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan
dikenai radiasi, memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan
dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini
sejak tahun 1985 telah berkembang metoda pembedahan dengan menggunakan
radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Dengan teknik ini
kasus-kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah
konvensional menjadi dapat diatasi dengan baik oleh pisau gamma ini,
bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan yang terpenting tanpa
merusak jaringan di luar target.
PRINSIP KERJA KEDOKTERAN NUKLIR
1.
Prinsip Pencitraan Kedokteran Nuklir
- Menggunakan radioisotop sbg sumber sinar gamma dengan energi 80-511 keV
- Radioisotop dimasukkan kedalam organ tubuh yang diperiksa (in vivo)
- Organ tubuh memencarkan radiasi, detektor mencatat paparan diluar tubuh
- Radiasi diubah menjadi cahaya, cahaya diubah menjadi data digital, data digital direkonstruksi menjadi citra diagnostik.
2. Alur Pencitraan Kedokteran Nuklir
Dalam
prinsip pencintraan pada kedokteran nuklir ada beberapa alur-alur yang harus di
ketahui. Berikut alur-alur untuk pencitraan pada kedokteran nuklir :
- Pembuatan jenis radiofarmaka sesuai dengan jenis pemeriksaan kedokteran nuklir yang akan di lakukan. Radiofarmaka adalah senyawa aktif yang dapat diberikan kepada pasien, merupakan sumber terbuka dan ikut metabolisme tubuh.
- Radiofarmaka yang sudah di siapkan tersebut lalu di suntikan melalui pembuluh darah pasien, jenis radiofarmaka yang dimasukan sesuai dengan jenis pemeriksaan yang akan di lakukan pada kedokteran nuklir.
- Setelah disuntikan radiofarmaka melalui pembuluh darah pasien, maka radiofarmaka atau radiasi yang ada di dalam tubuh pasien pasti akan memancar sinar gamma atau radiasi gamma ke segala arah..
- Radiasi gamma atau sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien itu akan di tangkap oleh detektor pada pesawat gamma kamera, lalu akan di saring dengan kolimator, fungsi kolimator pada kedokteran nuklir ini adalah untuk menangkap radiasi gamma atau sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien, kolimator yang digunakan pada kedokteran nuklir ini harus di sesuaikan dengan pemeriksaan yang akan dilakukan, misalkan untuk pemeriksaan thyroid, maka kolimator yang digunakan adalah kolimator khusus pemeriksaan thyroid. Jadi, bila kolimator tidak sesuai untuk pemeriksaan yang dilakukan, maka gambaran kedokteran nuklir akan menjadi tidak jelas, atau bisa di sebut blur dan banyak noise.
- Sinar gamma atau radiasi gamma yang ditangkap oleh detektor ataupun kolimator maka akan di teruskan ke PMT, PHA, Kordinat x.y,z logic sirkuit amplifikasi. PHA, Kordinat xy, dan logic sirkuit amplifikasi ini berguna untuk menentukan gambaran kedokteran nuklir, apakah gambaran itu bagus atau blur/jelek.
- Setelah melawati PHA, Kordinat xy dan logic sirkuit amplifikasi maka akan diteruskan melalui komputer untuk menampilkan gambaran kedokteran nuklir ataupun untuk pencatatan dan mencetak gambaran kedokteran nuklir.
Berikut bagan atau skema pembentukan
citra pada kedokteran nuklir :
Ø Kamera sinar gamma dikopel dengan
gantry (head + gantry)
Ø Dapat bergerak mengelilingi obyek,
sebagaimana pada CT
Ø Menggunakan colimator khusus untuk
menangkap foton dari lapisan obyek tertentu
Ø Konstruksi lobang-lobang colimator
(colimator hole) dibuat supaya dapat menangkap foton yang terpancar dari
kedalaman tertentu organ tertentu.
Ø Apabila head bergerak (scanning)
maka detektor akan menangkap foton-foton dari lapisan tertentu saja, yang
dibutuhkan untuk penggambaran .
Prinsip kerja Gamma kamera
(Detector)
Gamma kamera adalah alat untuk mengolah radiasi gamma dari
tubuh manusia untuk dapat dirubah dalam bentuk data yang dapat dilihat, baik
berup gambar, angka maupun grafik. Sehingga dari situ dapat diketahui mengenai
bentuk, letak dan apakah organ itu berfungsi baik atau tidak.
Komponen
gamma kamera :
-
Collimator
-
Detektor
-
Photo Multipier Tube (PMT)
-
Cathoda Ray Tube (CRT)
-
Pulse High Analizer (PHA)
1.
Kollimator
Collimator terdiri dari plat timbal
yang berisikan banyak pipa kecil (Septa), collimator pada gamma kamera
mempunyai beragam bentuk atau tipe, diantaranya adalah :
a.
Collimator Pinhole
b.
collimator multihole
- collimator konvergen
- collimator divergen
- collimator menjajar
Fungsi dari collimator ini adalah untuk menyerap energi
foton yang tidak tegak lurus terhadap detector.
Efektifitas dari kollimator dalam menghasilkan gambaran
tergantung dri beberapa faktor :
1.
dimension kolimator
Artinya
tergantung pada besar pipa, jumlah dan panjang pipa.
2.
Jarak dari objek
Makin
dekat objek dengan camera gamma maka akan semakin baik.
3.
tergantung dari energy radioisotope yang digunakan
Makin
tinggi energinya, maka makin buruk cahaya yang dihasilkan oleh detector, oleh
karena itu jenis kollimator yang dipakai harus disesuaikan dengan jenis
kollimator yang didesain untuk energy tertentu.
2.
Detektor
Sistem detector terdiri dari beberapa komponen, komponen ini
saling berkaitan sehingga sinyal dari objek dapat dideteksi
kemudian diproses.komponen dari detector ini adalah Kristal sodium iodide, kaca
untiuk jalan sinar, dan kumpulan tabung PMT. Sinar gamma yang membentur kristal
membangkitkan cahaya, yang intensitasnya sebanding dengan energi yang hilang
dari sinar gamma itu.
Sinar
gamma diteruskan pada Kristal melalui melalui sebuah collimator yang diletakkan
pada permukaan detector. Secara fisik Kristal yang dipakai pada detector
mengandung sodium yodida, thallium aktif dicampur dengan NaI. Kemudian ditutup
dengan kaleng allumunium yang diberi jendela kaca pada satu sisisnya, jendela
ini berguna agar sintilasi dapat diterima oleh PMT. Diameter Kristal menentukan jumlah PMT yang
dipakai dan efisiensi yang diinginkan, makin tipis kristal makin besar
efisiensinya, tetapi makin kurang resolusinya.
Pada
saat sinar gamma membentur kristal pada detektor, diahsilkan sintilasi cahaya,
dan terjadi peristiwa efek fotolistrik. Pada efek fotolistrik, sinar gamma
menabrak orbital elektron atom pada kristal dan memberikan energi pada elektron
dalam orbital itu. Elektron yang mendapat energi itu keluar dari orbital sambil
memancarkan energi dalam bentuk cahaya.
3.
Tabung Photo Multiplier (PMT)
Tabung
ini terdiri dari fotokatoda, dinoda-dinoda dan anoda, didalam tabung ini
terjadi penyerapan cahaya, sehingga elektron tereksitasi. Melalui medan listrik
yang terpasang antara fotokatoda dengan dinoda. Elektron-elektron tersebut
dipercepat dan diperbanyak serta dikumpulkan pada anoda sehingga diperoleh
pulsa arus listrik.
Elektron-elektron
hasil penggandaan yang terkumpul pada anoda dari PMT akan menghasilkan pulsa
arus listrik. Pulsa-pulsa ini yang kemudian akan masuk kedalam unit
pemerosesan.
4.
Cathode Ray Tube
Signal-signal
yang didapat dari PMT akan diproses menjadi tiga signal yaitu x,y,z, dimana
signal x dan y digunakan untuk lokasi ruang yang diproses olh CRT yang
merupakan tampilan pada layar monitor. Sedangkan signal z menunjukan besarnya
energi yang masuk kedalam kristal detektor dan diproses oleh PHA.
5.
Pulse Height Analizer (PHA)
Setelah
menggunakan kristal sintilasi yang mengubah pancaran radiasi menjadi cahaya,
maka cahaya itu akan diubah oleh PMT menjadi besaran listrik. Tetapi cahaya
yang dihasilkan oleh kristal dipengaruhi juga oleh efek-efek akibat interaksi
antara foton dengan benda seperti halnya efek fotolistrik. Oleh karena itu
sinyal yang dihasilkan oleh PMT harus diolah sedemikian rupa sehingga dapat
dihasilkan data sesungguhnya dari hasil benturan antara sinar gamma dengan
Kristal sintilasi.
Untuk mendapatkan data sebenarnya
digunakan rangkaian PHA. Sinyal dari PMT dimasukkan kedalam pre amplifier untuk
dikuatkan, kemudian sinyal itu diteruskan kedalam delay line clipper yang akan
menghasilkan sinyal-sinyal dengan lebar pulsa yang sama. Output dari delay line
clipper ini kemudian merupakan input dari rangkaian Pulse Height Analizer.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar