Minggu, 02 Februari 2014

KEDOKTERAN NUKLIR



Banyak orang yang mungkin tidak tahu tentang kedokteran nuklir, dan merasa asing ketika mendengarnya. Kedokteran nuklir ini merupakan salah satu cabang ilmu kedokteran yang memanfaatkan materi radioaktif untuk menegakkan diagnosis dan mengobati penderita serta mempelajari penyakit manula. Bidang kedokteran nuklir laksana sebuah segitiga dengan radiofarmaka, instrument, dan masalah biomedik sebagai sisi-sisinya, serta penderita ditengahnya. Kedokteran nuklir menggunakan sumber radiasi terbuka berasal dari disintegrasi inti radionuklida buatan untuk mempelajari perubahan fisiologi, anatomi, dan biokimia, sehingga dapat digunakan untuk tujuan diagnostik, terapi, dan penelitian kedokteran.
            Keunggulan kedokteran nuklir terletak pada kemampuannya mendeteksi bahan bahan yang ditandai dengan perunut radioaktif. Bahan – bahan tersebut yang dikenal dengan istilah radiofarmaka, dimasukkan ke dalam tubuh melalui inhalasi, intravena, mulut. Setelah berada di dalam tubuh, dapat diikuti nasibnya di dalam organ atau jaringan menggunakan detektor pemancar gamma yang ditempatkan
di luar tubuh. Dapat pula dilakukan analisis kandungan radiofarmaka dalam cuplikan darah, urine, feses, atau udara yang dihembuskan melalui pernafasan, bahkan dalam jaringan. Melalui teknik pencitraan
dapat dipantau distribusi radioaktivitas di organ atau bagian tubuh sebagai fungsi waktu.
Berbeda dengan pencitraan dengan pesawat CT-scan, USG, maupun MRI yang sifatnya morfologik karena lebih didasarkan pada perubahan atau perbedaan karakter fisik anatomik yang menimbulkan perubahan atau perbedaan transmisi radiasi atau gelombang ultrasonik ataupun sinyal
radiofrekwensi yang melalui organ atau bagian tubuh yang diperiksa, maka pencitraan kedokteran nuklir dengan kamera gamma atau kamera PET (Positron Emission Tomography) bersifat fungsional karena
didasarkan pada perubahan biokimiawifisiologik yang menimbulkan pola emisi radiasi yang mencerminkan fungsi organ atau bagian tubuh yang diperiksa.

 SEJARAH PERKEMBANGAN KEDOKTERAN NUKLIR
Penggunaan isotop radioaktif dalam biologi dan kedokteran sebenarnya telah dimulai pada tahun 1901 oleh Henri DANLOS yang menggunakan radium untuk pengobatan penyakit tuberculosis pada kulit, namun penerapan teknik perunut dengan menggunakan radioisotop dalam biologi dan kedokteran dipelopori oleh George de HEVESY pada tahun 1920an, waktu itu digunakan radioisotop alamiah. Dalam
perkembangan selanjutnya digunakan radioisotop buatan.
            Seorang ahli kimia berkebangsaan Hongaria, George Hevesy, pada tahun 1923 mengukur distribusi timbal (Pb) radioaktif  dengan jalan memasukkan Pb-210 dan Pb-212 pada batang dan akar kacang dalam jumlah yang tidak menimbulkan efek toksik  pada tanaman. Pada tahun 1924, dipelajari distribusi Pb dan  Bismut (Bi) pada hewan percobaan. ini merupakan langkah  pertama penggunaan perunut untuk penelitian biomedik, sehingga pada tahun 1943 George Hevesy mendapat hadiah Nobel  di bidang Kimia. Radionuklida pertama yang digunakan secara  luas dalam kedokteran nuklir adalah I-131, yang ditemukan oleh  Glenn Seaborg pada tahun 1937. Pertama kali I-131 digunakan  sebagai indikator fungsi kelenjar tiroid dengan jalan mendeteksi  sinar yang diemisikan, dengan pencacah Geiger yang ditempatkan di dekat kelenjar tiroid. Diikuti dengan pemakaiannya untuk pengobatan hipertiroid pada tahun 1940. Penemuan Seaborg berikutnya yaitu radionuklida Tc-99m dan Co-60, yang merupakan tonggak sejarah di bidang Kedokteran Nuklir. Berkat jasanya tersebut, Seaborg mendapat hadiah Nobel untuk bidang Kimia pada tahun 1951. Pada periode berikutnya, kedokteran nuklir berkembang pesat setelah ditemukan kamera gamma oleh Hal Anger pada tahun 1958. Alat tersebut mampu mendeteksi distribusi foton yang dipancarkan dari dalam tubuh, yang dapat menggambarkan fungsi suatu organ. Metode ini disebut imaging nuklir, yang digunakan untuk diagnosis in vivo.
PERKEMBANGAN KEDOKTERAN NUKLIR DI INDONESIA

            Aplikasi teknik nuklir dalam bidang kedokteran di Indonesia telah dilakukan sejak akhir 1960an, yaitu setelah reaktor atom Indonesia yang pertama mulai beroperasi di Bandung. Beberapa tenaga ahli Indonesia dibantu oleh ahli dari luar negeri mulai merintis pendirian suatu unit kedokteran nuklir di Pusat Reaktor Atom Bandung (sekarang bernama Pusat Penelitian Teknik Nuklir). Unit ini merupakan cikal bakal Unit Kedokteran Nuklir RSU Hasan Sadikin/Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Menyusul kemudian unit-unit berikutnya di Jakarta yaitu: RS Cipto Mangunkusumo, RS Pusat Pertamina, RS Gatot Subroto, dan di Surabaya RS Soetomo.
Pada tahun 1985 didirikan unit-unit kedokteran nuklir berikutnya di RS Sardjito, (Yogyakarta), RS Kariadi (Semarang), RS Jantung Harapan Kita (Jakarta), dan RS Fatmawati (Jakarta). Dewasa ini terdapat 15 rumah sakit di Indonesia yang melakukan pelayanan kedokteran nuklir dengan menggunakan kamera gamma, 3 diantaranya di luar Jawa, disamping masih terdapat 2 rumah sakit lagi yang hanya
mengoperasikan alat penatah ginjal /renograf (RSU Mataram dan RS Mukti Mulya di Surabaya).
            Pada masa-masa awal, berbagai kendala menghadang perkembangan kedokteran nuklir di Indonesia seperti misalnya langkanya tenaga ahli, masalah pengadaan radiofarmaka/radioisotop, biaya
pemeriksaan yang dianggap mahal, belum dikenal oleh masyarakat luas, dsb. Berapa sebenarnya jumlah unit kedokteran nuklir yang dibutuhkan di suatu negara adalah sangat bervariasi tergantung tingkat kemajuan teknologinya, sosial ekonomi masyarakat di negara itu, prioritasnya di sektor kesehatan, dsb.
Dalam bidang pengembangan ilmu Kedokteran Nuklir, saat ini Fakultas Kedokteran Univesitas Padjadjaran dipercaya oleh Konsorsium Ilmu-ilmu Kesehatan sebagai penyelenggara Program Pendidikan Dokter Spesialis Kedokteran Nuklir di Indonesia. Selain itu, institusi ini pun telah mendapat pengakuan pada taraf internasional sebagai sekretariat Penyelenggara 5th Asia-Oceania Congress of Nuclear Medicine and Biology pada bulan Oktober 1992.

PEMANFAATAN KEDOKTERAN NUKLIR

Pemeriksaan kedokteran nuklir banyak membantu dalam menunjang diagnosis berbagai penyakit seperti penyakit jantung koroner, penyakit kelenjar gondok, gangguan fungsi ginjal, menentukan tahapan penyakit kanker dengan mendeteksi penyebarannya pada tulang, mendeteksi pendarahan pada saluran pencernaan makanan dan menentukan lokasinya, serta masih banyak lagi yang dapat diperoleh dari diagnosis dengan penerapan teknologi nuklir yang pada saat ini berkembang pesat.

Disamping membantu penetapan diagnosis, kedokteran nuklir juga berperanan dalam terapi-terapi penyakit tertentu, misalnya kanker kelenjar gondok, hiperfungsi kelenjar gondok yang membandel terhadap pemberian obat-obatan non radiasi, keganasan sel darah merah, inflamasi (peradangan) sendi yang sulit dikendalikan dengan menggunakan terapi obat-obatan biasa. Bila untuk keperluan diagnosis, radioisotop diberikan dalam dosis yang sangat kecil, maka dalam terapi radioisotop sengaja diberikan dalam dosis yang besar terutama dalam pengobatan terhadap jaringan kanker dengan tujuan untuk melenyapkan sel-sel yang menyusun jaringan kanker itu.
PEMANFAATAN TEKNIK NUKLIR DI LUAR KEDOKTERAN NUKLIR
Di luar kedokteran nuklir, teknik nuklir masih banyak memberikan sumbangan yang besar bagi kedokteran serta kesehatan, misalnya:
1. Teknik Pengaktifan Elektron
Teknik nuklir ini dapat digunakan untuk menentukan kandungan mineral tubuh terutama untuk unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh dengan jumlah yang sangat kecil (Co,Cr,F,Fe,Mn,Se,Si,V,Zn dsb) sehingga sulit ditentukan dengan metoda konvensional. Kelebihan teknik ini terletak pada sifatnya yang tidak merusak dan kepekaannya sangat tinggi. Di sini contoh bahan biologik yang akan diperiksa ditembaki dengan neutron.
2. Penentuan Kerapatan Tulang dengan Bone Densitometer
Pengukuran kerapatan tulang dilakukan dengan cara menyinari tulang dengan radiasi gamma atau sinar-x. Berdasarkan banyaknya radiasi gamma atau sinar-x yang diserap oleh tulang yang diperiksa maka dapat ditentukan konsentrasi mineral kalsium dalam tulang. Perhitungan dilakukan oleh komputer yang dipasang pada alat bone densitometer tersebut. Teknik ini bermanfaat untuk membantu mendiagnosis kekeroposan tulang (osteoporosis) yang sering menyerang wanita pada usia menopause sehingga menyebabkan tulang muda patah.
3.Three Dimentional Conformal Radiotheraphy (3D-CRT)
Terapi Radiasi dengan menggunakan sumber radiasi tertutup atau pesawat pembangkit radiasi telah lama dikenal untuk pengobatan penyakit kanker. Perkembangan teknik elektronika maju dan peralatan komputer canggih dalam dua dekade ini telah membawa perkembangan pesat dalam teknologi radioterapi. Dengan menggunakan pesawat pemercepat partikel generasi terakhir telah dimungkinkan untuk melakukan radioterapi kanker dengan sangat presisi dan tingkat keselamatan yang tinggi melalui kemampuannya yang sangat selektif untuk membatasi bentuk jaringan tumor yang akan dikenai radiasi, memformulasikan serta memberikan paparan radiasi dengan dosis yang tepat pada target. Dengan memanfaatkan teknologi 3D-CRT ini sejak tahun 1985 telah berkembang metoda pembedahan dengan menggunakan radiasi pengion sebagai pisau bedahnya (gamma knife). Dengan teknik ini kasus-kasus tumor ganas yang sulit dijangkau dengan pisau bedah konvensional menjadi dapat diatasi dengan baik oleh pisau gamma ini, bahkan tanpa perlu membuka kulit pasien dan yang terpenting tanpa merusak jaringan di luar target.
 











PRINSIP KERJA KEDOKTERAN NUKLIR



1. Prinsip Pencitraan Kedokteran Nuklir
  1. Menggunakan radioisotop sbg sumber sinar gamma dengan energi 80-511 keV
  2. Radioisotop dimasukkan kedalam organ tubuh yang diperiksa (in vivo)
  3. Organ tubuh memencarkan radiasi, detektor mencatat paparan diluar tubuh
  4. Radiasi diubah menjadi cahaya, cahaya diubah menjadi data digital, data digital direkonstruksi menjadi citra diagnostik.
2. Alur Pencitraan Kedokteran Nuklir
Dalam prinsip pencintraan pada kedokteran nuklir ada beberapa alur-alur yang harus di ketahui. Berikut alur-alur untuk pencitraan pada kedokteran nuklir :
  1. Pembuatan jenis radiofarmaka sesuai dengan jenis pemeriksaan kedokteran nuklir yang akan di lakukan. Radiofarmaka adalah senyawa aktif yang dapat diberikan kepada pasien, merupakan sumber terbuka dan ikut metabolisme tubuh.
  2. Radiofarmaka yang sudah di siapkan tersebut lalu di suntikan melalui pembuluh darah pasien, jenis radiofarmaka yang dimasukan sesuai dengan jenis pemeriksaan yang akan di lakukan pada kedokteran nuklir.
  3. Setelah disuntikan radiofarmaka melalui pembuluh darah pasien, maka radiofarmaka atau radiasi yang ada di dalam tubuh pasien pasti akan memancar sinar gamma atau radiasi gamma ke segala arah..
  4. Radiasi gamma atau sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien itu akan di tangkap oleh detektor pada pesawat gamma kamera, lalu akan di saring dengan kolimator, fungsi kolimator pada kedokteran nuklir ini adalah untuk menangkap radiasi gamma atau sinar gamma yang dipancarkan dari tubuh pasien, kolimator yang digunakan pada kedokteran nuklir ini harus di sesuaikan dengan pemeriksaan yang akan dilakukan, misalkan untuk pemeriksaan thyroid, maka kolimator yang digunakan adalah kolimator khusus pemeriksaan thyroid. Jadi, bila kolimator tidak sesuai untuk pemeriksaan yang dilakukan, maka gambaran kedokteran nuklir akan menjadi tidak jelas, atau bisa di sebut blur dan banyak noise.
  5. Sinar gamma atau radiasi gamma yang ditangkap oleh detektor ataupun kolimator maka akan di teruskan ke PMT,  PHA, Kordinat x.y,z logic sirkuit amplifikasi. PHA, Kordinat xy, dan logic sirkuit amplifikasi ini berguna untuk menentukan gambaran kedokteran nuklir, apakah gambaran itu bagus atau blur/jelek.
  6. Setelah melawati PHA, Kordinat xy dan logic sirkuit amplifikasi maka akan diteruskan melalui komputer untuk menampilkan gambaran kedokteran nuklir ataupun untuk pencatatan dan mencetak gambaran kedokteran nuklir.
Berikut bagan atau skema pembentukan citra pada kedokteran nuklir :


 
Berikut instrument-instrumen yang digunakan pada pesawat SPECT :
Ø  Kamera sinar gamma dikopel dengan gantry (head + gantry)
Ø  Dapat bergerak mengelilingi obyek, sebagaimana pada CT
Ø  Menggunakan colimator khusus untuk menangkap foton dari lapisan obyek tertentu
Ø  Konstruksi lobang-lobang colimator (colimator hole) dibuat supaya dapat menangkap foton yang terpancar dari kedalaman tertentu organ tertentu.
Ø  Apabila head bergerak (scanning) maka detektor akan menangkap foton-foton dari lapisan tertentu saja, yang dibutuhkan untuk penggambaran .
Prinsip kerja Gamma kamera (Detector)
Gamma kamera adalah alat untuk mengolah radiasi gamma dari tubuh manusia untuk dapat dirubah dalam bentuk data yang dapat dilihat, baik berup gambar, angka maupun grafik. Sehingga dari situ dapat diketahui mengenai bentuk, letak dan apakah organ itu berfungsi baik atau tidak.
Komponen gamma kamera :
-          Collimator
-          Detektor
-          Photo Multipier Tube (PMT)
-          Cathoda Ray Tube (CRT)
-          Pulse High Analizer (PHA)
1. Kollimator
            Collimator terdiri dari plat timbal yang berisikan banyak pipa kecil (Septa), collimator pada gamma kamera mempunyai beragam bentuk atau tipe, diantaranya adalah :
a. Collimator Pinhole
b. collimator multihole
            - collimator konvergen
            - collimator divergen
            - collimator menjajar
Fungsi dari collimator ini adalah untuk menyerap energi foton yang tidak tegak lurus terhadap detector.
Efektifitas dari kollimator dalam menghasilkan gambaran tergantung dri beberapa faktor :
1. dimension kolimator
Artinya tergantung pada besar pipa, jumlah dan panjang pipa.
2. Jarak dari objek
Makin dekat objek dengan camera gamma maka akan semakin baik.
3. tergantung dari energy radioisotope yang digunakan
Makin tinggi energinya, maka makin buruk cahaya yang dihasilkan oleh detector, oleh karena itu jenis kollimator yang dipakai harus disesuaikan dengan jenis kollimator yang didesain untuk energy tertentu.
2. Detektor
Sistem detector terdiri dari beberapa komponen, komponen ini saling berkaitan sehingga sinyal dari objek dapat dideteksi kemudian diproses.komponen dari detector ini adalah Kristal sodium iodide, kaca untiuk jalan sinar, dan kumpulan tabung PMT. Sinar gamma yang membentur kristal membangkitkan cahaya, yang intensitasnya sebanding dengan energi yang hilang dari sinar gamma itu.
      Sinar gamma diteruskan pada Kristal melalui melalui sebuah collimator yang diletakkan pada permukaan detector. Secara fisik Kristal yang dipakai pada detector mengandung sodium yodida, thallium aktif dicampur dengan NaI. Kemudian ditutup dengan kaleng allumunium yang diberi jendela kaca pada satu sisisnya, jendela ini berguna agar sintilasi dapat diterima oleh PMT.  Diameter Kristal menentukan jumlah PMT yang dipakai dan efisiensi yang diinginkan, makin tipis kristal makin besar efisiensinya, tetapi makin kurang resolusinya.
      Pada saat sinar gamma membentur kristal pada detektor, diahsilkan sintilasi cahaya, dan terjadi peristiwa efek fotolistrik. Pada efek fotolistrik, sinar gamma menabrak orbital elektron atom pada kristal dan memberikan energi pada elektron dalam orbital itu. Elektron yang mendapat energi itu keluar dari orbital sambil memancarkan energi dalam bentuk cahaya.
3. Tabung Photo Multiplier (PMT)
Tabung ini terdiri dari fotokatoda, dinoda-dinoda dan anoda, didalam tabung ini terjadi penyerapan cahaya, sehingga elektron tereksitasi. Melalui medan listrik yang terpasang antara fotokatoda dengan dinoda. Elektron-elektron tersebut dipercepat dan diperbanyak serta dikumpulkan pada anoda sehingga diperoleh pulsa arus listrik.
     Elektron-elektron hasil penggandaan yang terkumpul pada anoda dari PMT akan menghasilkan pulsa arus listrik. Pulsa-pulsa ini yang kemudian akan masuk kedalam unit pemerosesan.
4. Cathode Ray Tube
Signal-signal yang didapat dari PMT akan diproses menjadi tiga signal yaitu x,y,z, dimana signal x dan y digunakan untuk lokasi ruang yang diproses olh CRT yang merupakan tampilan pada layar monitor. Sedangkan signal z menunjukan besarnya energi yang masuk kedalam kristal detektor dan diproses oleh PHA.
5. Pulse Height Analizer (PHA)
Setelah menggunakan kristal sintilasi yang mengubah pancaran radiasi menjadi cahaya, maka cahaya itu akan diubah oleh PMT menjadi besaran listrik. Tetapi cahaya yang dihasilkan oleh kristal dipengaruhi juga oleh efek-efek akibat interaksi antara foton dengan benda seperti halnya efek fotolistrik. Oleh karena itu sinyal yang dihasilkan oleh PMT harus diolah sedemikian rupa sehingga dapat dihasilkan data sesungguhnya dari hasil benturan antara sinar gamma dengan Kristal sintilasi.
Untuk mendapatkan data sebenarnya digunakan rangkaian PHA. Sinyal dari PMT dimasukkan kedalam pre amplifier untuk dikuatkan, kemudian sinyal itu diteruskan kedalam delay line clipper yang akan menghasilkan sinyal-sinyal dengan lebar pulsa yang sama. Output dari delay line clipper ini kemudian merupakan input dari rangkaian Pulse Height Analizer.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar